Lora Bodoh dan Santri Pintar

Posted: Juli 23, 2009 in Cangkruan, Motivasi, pemikiran, pendidikan, Pitakonan, Renungan
Tag:, , ,

Suatu saat penulis berbincang-bincang dengan para asatidz Ponpes Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Perbincangan kami berkisar tentang enaknya jadi Lora (Gus=Jawa), Ihsan di Masjid Sumenepmenjadi anak seorang kiai. Perbicangan santai setelah rapat para asatidz tersebut kemudian terus mengarah pada materi yang lebih mendalam tentang bagaimana bisa seorang Lora yang jika dilihat dari jam belajarnya biasa-biasa saja bahkan terkadang tampak sangat malas dan nakal akan tetapi selalu pintar dan menguasai bidang-bidang keilmuan terutama dalam hal pengajaran kitab kuning dan agama, setidaknya begitulah kelihatannya. Kami pun terus mencoba “menganalisis” tentang bagaimana hal tersebut bisa terjadi.

Pertanyaan berkisar pada bagaimana seorang Lora selalu menjadi orang pintar? Dari perbincangan di ponpes tertua di Madura timur tersebut, ternyata setelah ditelusuri menggunakan pendekatan sosial budaya dan agama terdapat sebuah kenyataan bahwa sang lora tampak biasa saja akan tetapi ia selalu didoakan oleh ayahnya (kiai) yang selalu shalat malam, dalam kekhusukan doa bermunajat pada ilahi, sedang disaat lain orang kebanyakan yang mempunyai anak malah lebih memilih tidur. Peserta bincang-bincang di Annuqayah ini pun manggut-manggut mendengat penjelasan penulis, akan tetapi beberapa di antara peserta lesehan “protes” dan mengatakan bahwa tidak semua orang tua kebanyakan (awam) yang selalu tidur di kala malam, mereka juga ada yang bangun malam dan shalat. Kami pun terdiam, merenungi kenyataan tersebut. Kira-kira apa yang menjadi nilai plus sehingga seorang lora menjadi begitu digjaya di masa dewasanya. Seorang ustad yang agak sepuh di antara kami kemudian membuka suara,”Ada satu hal yang hampir kita lupakan yaitu kenyataan bahwa para santri pada suatu pesantren selalu mendoakan kiainya dan para keluarga kiai secara kontinyu. Mereka para santri biasa memanjatkan doa kepada Allah agar keluarga kiai diberi berkah, rahmat dan kemudahan dalam segala hal termasuk dalam masalah keilmuan”. Kontan kami tersadar bahwa memang hal tersebut sering ditemui di pesantren sehingga kredibilitas dan aksebilitas lora selalu terbangun dan hampir selalu mewarisi takdir ayahnya sebagai seorang kiai.

Dalam kesempatan lain, penulis berbincang-bincang dengan lora Ponpes Bata-Bata, Pamekasan dalam sebuah kesempatan waktu senggang. saat itu kami membahas tentang perkembangan pesantren dan prinsip-prinsip apa saja yang harus dijalankan dan harus dipertahankan di Ponpes Bata-Bata. Saat itu penulis membuka tema tentang ke-lora-an, saat itu penulis utarakan seperti apa yang penulis dapatkan dalam bincang santai di Ponpes Annuqayah. Penulis berkata pada sang lora, “Enak benar ya jadi lora. Tanpa harus belajar keras mereka bisa menguasai bidang keilmuan agama?!” Mendengar celetukan penulis, sang Lora kemudian berada dalam sebuah ketertarikan yang dalam dari sebelumnya dan beberap saat kemudian ia menjawab, “Kata siapa lora itu pintar, banyak di antara mereka itu malah sebenarnya bodoh”. Saat itu penulis menimpali, “ sebodoh-bodohnya lora tetap saja lebih pintar dari saya”. Kemudian kawan perbincangan saya tadi berkata. “Nah. Pemikiran seperti itulah yang membuat Islam mengalami kemunduran.” Agak kaget dengan pernyataan sang lora, penulis bertanya lebih lanjut bagaimana bisa hal tersebut terjadi. Ia menjelaskan tentu saja bisa, bagaimana tidak, pintar ataupun bodoh seorang lora tetap akan memimpin pesantren. Padahal pesantren adalah barometer Islam di Indonesia. Jika lora-lora yang bodoh tersebut tetap memimpin pesantren yang mengemban misi internalisasi nilai-nilai agama demi upaya liyatafaqqahu fi al-din (untuk menjadikan seseorang memeluk erat nilai-nilai agama) dalam proses pendidikan yang dijalankannya maka pesantren secara kuantitas keilmuan akan jauh merosot.

Dalam sejarah pesantren, dulu kita punya Syekh Nawawi al-Banteni, Syaikhona KH. M. Kholil Bangkalan, KH, Abdul Majid Bata-Bata, ada pula KH. Syarqawi Guluk-Guluk. Mereka-mereka diangkat kiai oleh masyarakat bukan karena mereka adalah anak-anak kiai akan tetapi karena kailmuannya yang mumpuni dalam bidang agama, mereka juga telah menelurkan beberapa karya tulis kepesantrenan dalam berbagai bidang. Akan tetapi apapun yang kita lihat saat sekarang ini, mereka adalah bagian dari masa lalu dan tidak bisa kita selalu berbangga hati melihat prestasi para almarhumin tersebut dan tidak berbuat apa-apa. Seperti kata pepatah, “laisa al-fata man yaqulu hadza abi walakin al-fata man yaqulu ha anadha”. Seorang pemuda bukanlah orang yang berkata inilah ayah kami tapi seorang pemuda adalah yang berkata inilah kami.

Tapi apa yang kita dapati sekarang, jangankan untuk berkata inilah kami untuk menjaga tradisi peninggalan orang-orang lama pun banyak para lora yang harus menurunkan standart minimum kualitasnya. Jika tidak percaya cobalah tengok, berapa lora yang berani beradu kitab dalam Bahtsul Masail antar pesantren. Rata-rata yang diutus adalah para santri dan bukannya lora anak kiai pesantren. Bisa saja alasannya adalah pemberdayaan santri akan tetapi kapan pemberdayaan lora-nya. Santri tetaplah santri yang harus pulang ke rumahnya yang 90% dari mereka tak punya pesantren di kampung halamannya.

Titik efeknya menurut teman penulis tadi adalah karena sang lora yakin bahwa apapun yang dilakukannya ia akan memangku jabatan pengasuh pesantren maka ia akan santai dan bermalas-malasan, walau begitu ia akan tetap mendapatkan legimasi dari para santri dan penghirmatan layaknya raja. Perkataan dan pandangannya selalu diterima tanpa protes oleh santri di pesantrennya, jika tidak bisa dibenarkan secara nalar agama sang lora akan dianggap jadab atau helaf(sebuah sebutan untuk para lora yang tak bisa dinalar).
Padahal di sisi lain, tak sedikit para santri pintar tak menemukan ruang menyalurkan ilmunya. Ia mendapati sebuah kenyataan bahwa ilmunya adalah ilmu yang tidak terpakai di masyarakat. Hasilnya adalah ia akan menjadi santri yang patah arang karena sekeras apapun ia belajar ia tidak bisa berbuat apa-apa atas apa yang dipelajarinya di pesantren dengan penuh ketekunan, kelelahan fisik dan psikis yang begitu panjang. Efek lanjutnya tak sedikit santri yang malas belajar, mereka berpikir berpikir sekeras apapun mereka belajar toh kitab-kitab mereka hanya jadi penghuni lemari buffet atau kardus di ruang belakang. Jadi buat apa bersusah payah mempelajari teori-teori kitab kuning mulai dari ilmu nahwu, balagah, saraf, i’lal dan sederet ilmu lainnya jika ilmu-ilmu tersebut tidak bisa mereka gunakan.

Jika hal ini terus terjadi, maka bukan isapan jempol jika kualitas keilmuan di pesantren semakin menurun dan gagap melihat realitas zamannya. Apalagi sebentar lagi pulau madura akan memiliki jembatan suramadu yang tidak hanya membawa transformasi ekonomi tapi juga budaya dan orientasi hidup. Jadi apakah lora bodoh tetap akan memimpin benteng terakhir moral Islam tersebut ataukah santri pintar tetap mempunyai kesempatan seperti layaknya dahulu pada awal abad 20 lalu mereka bisa mendapatkannya. Kita lihat!
(tulisan ini telah dimuat di Radar Madura/2009)

Komentar
  1. Ajiez berkata:

    itu nama metafor dari nama seorang wanita yang pernah aku cintai
    🙂

  2. Asih berkata:

    Peranan Seorang Lora terhadap masyarakat

  3. anto berkata:

    masyarakat terlalu fanatik dengan hal yg berbau ajaib,aneh dsb yg dilakukan oleh seorang yg mereka sebut lora
    masyarakat lupa dengan pegangan mereka ‘ al-quran dan as-sunnah’,karena bila mereka ingat, harusnya mereka membandingkannya dengan apa yg telah diajarkan dalam al-quran dan sunnah nabi
    sampai kapan masyarakat kita akan dibutakan dengan hal2 demikian?
    sayangnya saya cuma seorang awam,walaupun melihat ini di pulau tercinta tapi belum bisa melakukan perubahan dan memberikan solusi

Tinggalkan komentar