Posts Tagged ‘Santri’


Judul tulisan ini memang diilhami oleh kata bijak bestari di Indonesia “Guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Akan tetapi dalam tulisan kali ini saya hendak memakainya dalam kaitan saya sebagai pribadi dengan latar belakang seorang guru yang hidup di di kota-kota di Indonesia dan kota-kota lain di dunia, yang celakanya semua toilet kencingnya adalah didesain untuk kencing dengan berdiri. Curiculum vitae saya menyebutkan bahwa saya pernah menjadi guru karakter (di SAIMS), guru etika Islam (di SMP Jatiagung), dan guru (dosen) manajemen pendidikan Islam di STAI Al Fithrah. (lebih…)


saya dibesarkan dalam lingkungan dengan toilet jongkok. Di rumah ibu di Surabaya, toilet yang kami gunakan adalah toilet duduk, di desaku, kami biasa berak di jamban, yaitu toilet jongkok tanpa air. Orang lain menyebutnya jumbleng. Untuk cebok kami para lelali harus memegang “burung” kami menuju tempat air. “Burung” kami harus kami pegang agar tidak terkena sarung yang kami pakai. Dalam keyakinan kami, jika “burung” kami yang basah karena selesai kencing menyentuh sarung, maka sarung tersebut akan menjadi najis dan tidak bisa digunakan salat.
(lebih…)


Dalam sebuah acara Imaba Surabaya

Dalam sebuah acara Imaba Surabaya

Saya menulis ini tidak hendak untuk menjeneralisir macam-macam santri Urban di Surabaya, tapi ini hanya pengalaman pribadi berkaitan dengan para alumni pesantrenku di sebuah desa di Madura. Perlu diketahui bahwa pesantren kami adalah pesantren salaf alias pesantren tradisional. Di samping cara berpakaiannya yang tradisional yang disimbolkan dengan sarung, kopyah dan terompah, di pesantren kami para santri juga dilarang bermain musik. Alasannya sangat literlek, karena Nabi pernah melarang bunyi-bunyian semisal gendang ataupun seruling dalam hadis-hadis ahad. Sebuah alasan yang sebenarnya menjadi perkara yang debatable hingga saat sekarang ini karena sebagian pemikir muslim lainnya mengatakan tidak apa-apa yang penting tidak mengundang syahwat birahi dan kemaksiatan lainnya. (lebih…)


Suatu saat penulis berbincang-bincang dengan para asatidz Ponpes Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Perbincangan kami berkisar tentang enaknya jadi Lora (Gus=Jawa), Ihsan di Masjid Sumenepmenjadi anak seorang kiai. Perbicangan santai setelah rapat para asatidz tersebut kemudian terus mengarah pada materi yang lebih mendalam tentang bagaimana bisa seorang Lora yang jika dilihat dari jam belajarnya biasa-biasa saja bahkan terkadang tampak sangat malas dan nakal akan tetapi selalu pintar dan menguasai bidang-bidang keilmuan terutama dalam hal pengajaran kitab kuning dan agama, setidaknya begitulah kelihatannya. Kami pun terus mencoba “menganalisis” tentang bagaimana hal tersebut bisa terjadi. (lebih…)