Archive for the ‘Pitakonan’ Category


Hadis Menempelkan kaki di Shahih BukhariDi tahun 2013, saya pergi ke Amsterdam, Belanda. Di bandara Amsterdam, saya shalat berjamaah dengan kawan-kawan dari Indonesia di sebuah tempat yang disebut Prayer centre atau medition center. Kami shalat seperti kami biasa lakukan di Indonesia dengan cara shaf lurus tapi kaki dan pundak tidak menempel. Selesai shalat, seorang pegawai bandara yang baru shalat dan seorang keturunan Maroko (Maghrib) mendatangi saya. Dia menyatakan bahwa shalat saya salah. Dia menyatakan bahwa seharusnya shalat saya kakinya saling menempel dan begitu pula pundak kami. Ia menyatakan pendapatnya dalam bahasa Arab. Saat itu saya jawab pula dengan bahasa Arab yang saya dapat di pesantren dan sudah 80% lupa karena tidak terbiasa berbasa Arab. Karena saya tidak menguasai bahasa Arab, mau tidak mau dia mendominasi perdebatan kami. Dan saya kalah. Bukan karena saya tak tahu jawabannya tapi karena saya tidak tahu bagaimana cara menjawabnya dengan baik dan benar dalam bahasa Arab. (lebih…)


jujur tulisan ini dilatarbelakangi rasa sebel saya saat membaca disertasi seorang kawan bernama Mahrus As’ad (dosen STAIN Metro) yang mensifati paham jabariyah sebagai jumud, tidak kreatif, masa bodoh, dan tidak bergairah menghadapi kehidupan. Lebih lengkapnya berikut adalah tulisannya:

manusia fatalis (jabariyah) adalah manusia yang terlalu menonjolkan sikap pasrah berlebihan terhadap taqdir Allah, akibat kuatnya pengaruh teologi Jabariyah dari al-Asy’ari yang cenderung fatalistis, serta ajaran  tasawuf yang mengedepankan qana’ah secara pasif, yaitu sikap menerima taqdir Tuhan secara total, sehingga menyebabkan terabaikannya kemampuan dan ikhtiat manusia. Keyakinan ini pada gilirannya membawa manusia pada sikap berserah dan bergantung sepenuhnya pada kekuasaan mutlak Tuhan, nrimo, jumud, masa bodoh, tidak kreatif, tidak bergairah menghadapi kehidupan, dan mudah menyerah pada nasib (taqdir) yang secara determinan telah ditentukan Tuhan sebelumnya (Mahrus Mas’ud, 2008, 236)

(lebih…)


Jika mencari orang-orang bodoh carilah di media sosial, jika ingin mencari orang-orang pander carilah di media sosial, jika ingin mencari orang tidak bertatakrama carilah di media sosial. Di media sosial, persepsi terkadang lebih utama dibanding fakta dan data. Di media sosial, seorang professor bisa dibabat dengan sedemikian sadis oleh orang tidak berpendidikan. Media-media online yang memuja rating pun memperkeruh suasana. Tak jarang mereka mengabarkan atau lebih tepatnya menyesatkan para penghuni media sosial oleh berita-berita sesat mereka. Entah sengaja atau tidak, tapi cara itu banyak berhasil merayu dan menggoda para penghuni media sosial bermental pandir. (lebih…)


Terdengar suara merdu pemuda mengaji dari masjid-masjid di Ciputat pada malam bulan Ramadhan. Ditilik dari suaranya, tampaknya yang mengaji berumur 20 sampai 30 tahunan. Bacaan yang mengingatkanku kembali pada masa kecilku di sebuah kampung di tengah Kota Surabaya. Setiap bulan Ramadhan saya dan anak-anak kampung bergiat ke musolla KH. Ghufron faqih, sebuah langgar kecil yang terletak 100 meter di selatan rumahku.  Kelak dikemudian hari langgar ini berubah nama menjadi masjid Sayyid Abbas al-maliki karena dibangun oleh ustad di kampungku, murid sayyid Abbas yang saya panggil Ustad Ihya’. Sekarang nama resminya menjadi KH. Ihya’ Ulumuddin dan menjadi pengasuh pesantren Pujon, Malang. (lebih…)


Ihsan MaulanaKhelaf itu idealis dan idealis itu adalah khelaf

Khelaf adalah konsep yang ada di dunia pesantren di Jawa dan Madura. Sebagian lain menyebutnya sebagai jadab. Jadab sendiri adalah sebuah istilah bagi orang yang telah mencapai penyatuan dengan tuhannya (al-shakr billah). Orang itu kemudian lupa akan segala sesuatu di sekelilingnya.  Sedangkan Khelaf, berasal dari bahasa Arab khilaf yang artinya berbeda. Dalam kultur Indonesia Modern, khilaf atau silaf seringkali diartikan sebagai salah. Tapi istilah khelaf dalam tradisi pesantren tidak dalam kapasitas tersebut.  Khelaf dalam tradisi pesantren Madura adalah kharijun lil ‘adah, keluar dari tradisi atau cara berprilaku masyarakat kebanyakan. (lebih…)


Istilah Syi’ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي.

“Syi’ah” adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah “Syi`ah `Ali” شيعة علي artinya “pengikut Ali”, yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khairulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: “Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung” (ya Ali anta wa syi’atuka humulfaaizun)[1] (lebih…)


Sore itu, sebuah motor mengebut melalui jalan-jalan berbantal polisi tidur, bergeronjal tapi tak dihiraukannya. Saat macet, motor itu juga masih terus berjalan di pinggiran jalan dan bahkan keluar dari bahu jalan untuk sekedar terus bisa melaju. Ya, motor itu adalah ojek yang mengantarkanku ke bandara Soekarno-Hatta. Wajahku yang tertabrak ranting pepohonan tak dihiraukannya dan aku pun tak menghiraukan. Jempol kirinya terus saja membunyikan klakson bahwa ia terburu-buru dan ingin mendahui. Aku melihat jam tangan sudah menunjukkan jam 4.30 dan membisikkan dua kata, “agak cepat”. Kontan saja motor itu semakin menambah kecepatan. Saya pun dibuat dag dig dug oleh gaya nyetirnya yang mirip Simonchelli yang mati tabrakan di lintas balapan, cepat dan rada ngawur. Saat jam menunjukkan pukul lima sore dan baru sampai di tempat tujuan, saya pun berjalan dengan setengah berlari. Sesampai di depan petugas check in bandara dan saat ia berkata, Pesawat Anda sudah berangkat”, lemaslah saya. (lebih…)